JANGAN PERNAH BERGESER DARI NIAT YANG IKHLAS
Ikhlas adalah dasar diterima atau
tidaknya sebuah amal. Apalah arti sebuah prestasi jika Allah swt tidak
menganggapnya sebagai sebuah bakti. Mungkin, manusia bisa tertipu dengan
hiasan-hiasan amal yang ditampilkan. Tapi, Allah Maha Tahu apa yang tersembunyi
di balik hati seorang hamba. Sekecil apa pun.
Keanggunan hiasan dunia kadang membuat hati manusia tertipu, terpedaya. Buat siapa pun, termasuk hamba Allah yang giat beramal. Bahkan, seorang sahabat Rasul sekali pun. Kisah kurang amanahnya pasukan pemanah pimpinan Abu Ubaidah pada Perang Uhud memberikan pelajaran tersendiri.
Keanggunan hiasan dunia kadang membuat hati manusia tertipu, terpedaya. Buat siapa pun, termasuk hamba Allah yang giat beramal. Bahkan, seorang sahabat Rasul sekali pun. Kisah kurang amanahnya pasukan pemanah pimpinan Abu Ubaidah pada Perang Uhud memberikan pelajaran tersendiri.
Mereka siap menempuh bahaya seganas
apa pun. Tapi, tak sesiap itu ketika menatap lambaian ghanimah. Kenikmatan
dunia memperdaya mereka, merontokkan komitmen mereka terhadap perintah Rasul:
“Apa pun yang terjadi, kalian harus tetap di bukit ini!”
Tidak heran, jika Allah swt.
mengajarkan Thalut untuk menguji kesetiaan pasukannya dengan sungai. Buat
kondisi jazirah Arab yang panas, sungai merupakan perwujudan standar dari
bentuk kenikmatan dunia: menggiurkan di saat dahaga, menyejukkan di saat panas
terik membakar. Kalau pada takaran standar saja mereka rontok, apatah lagi
dengan kenikmatan yang lebih besar. Dan peperangan yang akan mereka hadapi
bukan sekadar menumbangkan Jalut, tapi mengendalikan diri dari hamparan
kenikmatan yang dimiliki Jalut.
Mampukah ?
Tidak ada yang mampu mengawasi jati
diri seorang hamba kecuali Allah dan dirinya sendiri. Dirinyalah yang tahu,
apakah niatnya masih lurus. Atau, sudah bergeser. Dan kelak, ia akan menuai
amal yang pernah ia tanam. Bagus atau buruk.
Biasakan untuk senantiasa memberi, bukan sebaliknya. Manusia memang tak bisa lepas dari tarikan dunia. Karena, sebagian dirinya berasal dari unsur tanah yang berarti bagian dari wujud dunia. Ia butuh makan, minum, tempat tinggal, pasangan, keluarga, status sosial, dan sebagainya. Tinggal, bagaimana ia mengelola keakrabannya dengan dunia.
Biasakan untuk senantiasa memberi, bukan sebaliknya. Manusia memang tak bisa lepas dari tarikan dunia. Karena, sebagian dirinya berasal dari unsur tanah yang berarti bagian dari wujud dunia. Ia butuh makan, minum, tempat tinggal, pasangan, keluarga, status sosial, dan sebagainya. Tinggal, bagaimana ia mengelola keakrabannya dengan dunia.
Orang yang akrab dengan sesuatu
biasanya akan cinta. Dan cinta menjadikan seseorang sulit dipisahkan dengan
yang dicintai. Karena itu, sebelum seseorang terlanjur mencintai dunia, ia
harus melatih diri untuk secara rutin berpisah. Biar kecil, tapi rutin.
Di situlah mungkin, di antara hikmah
Allah swt. mewajibkan infak buat orang-orang yang beriman. Tak ada keuntungan
sedikit pun buat Allah. Karena, tak satu pun benda di alam ini melainkan
dari-Nya. Semua manfaat itu akan kembali kepada manusia itu sendiri.
Sekilas, memberi terasa merugikan.
Karena, ada bagian kepemilikannya yang dikorbankan buat orang lain. Tapi,
justru di situlah seorang yang mudah memberi akan merasakan manfaat. Selain
menyeimbangkan keakrabannya dengan dunia, memberi adalah bentuk investasi lain
buat kepemilikan yang lebih berharga dari materi yang ia korbankan. Selain
balasan dari Allah, ia akan mendapatkan nilai sosial lebih. Harga sosialnya
akan semakin mahal, tanpa ia sadari (percayalah itu sudah saya lakukan).
Allah swt. berfirman, “Ada pun orang yang
memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa, dan membenarkan adanya
pahala yang terbaik (surga), maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang
mudah.” (QS. Al-Lail: 5-7).
Turunan dari memberi begitu banyak.
Rasulullah saw. sering menganjurkan kita untuk bersedekah, memberi hadiah,
menolong orang yang kesulitan dana, mengurus anak yatim, dan lain-lain. Karena
itu, bersikaplah untuk senantiasa siap memberi buat orang lain. Bukan,
berharap-harap apa yang mesti orang lain berikan kepada kita.
Jadilah seperti seorang penjual,
bukan pembeli. Perbedaan mendasar antara seorang penjual dengan pembeli adalah
sikap mental. Seorang penjual punya sikap pelayanan. Dan pembeli punya sikap
memilih-milih, tidak merasa perlu. Apa pun yang dituntut pembeli, penjual akan
menyesuaikan diri. Bahkan, ia harus siap dicela, dimarahi pembeli, tanpa
memperlihatkan reaksi ketidaksukaan. Apalagi perlawanan. Dan, manajemen moderen
membenarkan itu.
Begitu pun dalam beramal. Kehidupan
seorang hamba Allah di dunia ini tak lain adalah seorang penjual. Dan Allahlah
Si Pembeli. Pembeli bisa menentukan kriteria apa saja atas barang yang dibeli.
Dan penjual wajib memenuhi, jika dagangannya mau terjual.
Allah swt. berfirman dalam surah
At-Taubah ayat 111, “Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin,
diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang
pada jalan Allah; lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji
yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan Alquran. Dan siapakah yang
lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka, bergembiralah dengan
jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan itulah kemenangan yang besar.”
Tak ada satu penjual pun yang
santai-santai saja menyambut tawaran harga tinggi dari seorang pembeli. Dan
harga apalagi yang lebih tinggi dari surga yang penuh kenikmatan. Dan satu
lagi. Tak ada penjual yang sedemikian cintanya dengan dagangannya sehingga ia
tak akan pernah menjual. Teramat bodoh seorang penjual yang bersikap, “Biarlah
saya tak untung, yang penting barang dagangan yang saya cintai tak terjual!”
Saat itu, ia bukan lagi seorang penjual. Tapi, penikmat.
Seorang hamba Allah yang cerdas tak
akan terpedaya dengan dunia. Seindah apa pun, ia tampil. Segemerlap apa pun
dunia bersolek. Karena dalam pandangan Allah, dunia tak senilai saya nyamuk.
Rasulullah saw. bersabda, “Andaikan dunia itu senilai dengan sayap nyamuk di
sisi Allah, maka Allah tidak akan memberi minum kepada orang kafir walaupun
seteguk air dari dunia.” (HR. Tirmidzi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar